Search

100 Hari Politik “Bongkar” ala Jokowi - Kompas.com - Nasional Kompas.com

PEMERINTAHAN Joko Widodo-Ma’ruf Amin genap berjalan seratus hari pada Senin (27/1/2020) sejak pasangan ini dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2019 lalu.

Meski Presiden Jokowi tak mencanangkan target seratus hari kerja pada pemerintahan keduanya, istilah “capaian seratus hari kerja” keburu melekat di benak publik untuk mengevaluasi kerja-kerja awal pemerintahan.

Berbeda dengan periode pertama kepemimpinannya pada 2014-2019, Jokowi memang tidak memasang target capaian seratus hari di periode kedua.

“Enggak ada target seratus hari, ini kita melanjutkan sebelumnya,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan usai melantik Kabinet Indonesia Maju, Rabu (23/10/2019).

Ia hanya mengatakan, pemerintahan barunya bakal menitikberatkan kerja pada penggunaan APBN yang fokus dan terarah, mengejar defisit neraca perdagangan, membuka lapangan kerja, reformasi birokrasi dan sumber daya manusia.

Selain itu, juga ada lima prioritas kerja pemerintah yang disampaikan Jokowi dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019 lalu, yakni pembangunan SDM, pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi.

Namun, yang menarik untuk telisik dalam melihat seratus hari pemerintahan Jokowi periode kedua bukanlah capaian kinerja, melainkan langkah politik sang presiden.

Langkah politik Presiden

Langkah politik Jokowi dalam memulai pemerintahan jilid kedua harus diakui mengejutkan.

Dimulai dengan merangkul rivalnya dalam kontestasi pilpres, Prabowo Subianto, berikut motor oposisi, Partai Gerindra, ke dalam pemerintahan.

Prabowo diberi salah satu kursi strategis dalam kabinet, yakni menteri pertahanan.

Merangkul partai yang berlawanan arah politik ke dalam kekuasaan sebenarnya bukan hal baru.

Hal ini juga dilakukan oleh Jokowi-JK dengan merangkul Partai Golkar, PPP, dan PAN. Slater (2018) menyebutnya sebagai ciri “kartelisasi partai” ala Indonesia.

Menurut Slater, kartelisasi terjadi karena tekanan partai parlemen. Menurutnya, Jokowi-JK yang hanya didukung empat partai di Parlemen dengan total 37 persen suara, akhirnya merangkul sejumlah partai pada Mei 2016, atau tahun kedua pemerintahannya, dengan konsesi jabatan menteri.

Namun, yang dilakukan Jokowi di awal periode kedua adalah sesuatu yang berbeda.

Pemerintahannya tak mendapat tekanan di Parlemen, bahkan menguasai Parlemen dengan mengantongi lebih dari 60 persen kursi.

Menambah barisan parpol pendukung, apalagi dari parpol yang menjadi motor oposisi, adalah sesuatu yang luput dari analisis para pengamat.

Jokowi dan partainya, PDI-P, bahkan rela mengalami keretakan internal koalisi demi merangkul Gerindra.

Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto selfie dengan wartawan seusai keduanya bertemu di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (11/9/2019). DOKUMENTASI WARTAWAN ISTANA KEPRESIDENAN Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto selfie dengan wartawan seusai keduanya bertemu di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (11/9/2019).

Langkah ini seakan membongkar (dekonstruksi) fatsun politik (kepatutan politik) yang ada selama ini.

Kejutan Jokowi di awal periode keduanya tak berhenti di sini. Kesakralan sejumlah posisi di kabinet dan lingkar istana juga dibongkar. Jokowi menunjuk CEO Gojek yang berusia 35 tahun, Nadiem Makarim, sebagai Mendikbud. Ia menjadi menteri termuda dalam kabinet.

Kejutan lain

Padahal, kursi menteri pendidikan selama ini dikenal “sakral” karena senioritas (diisi para guru besar berpengalaman) dan terafiliasi dengan salah satu organisasi massa terbesar di Tanah Air.

Jokowi beralasan menunjuk Nadiem karena dipercaya akan membawa terobosan dalam pembangunan SDM yang menjadi salah satu bidang prioritas pemerintah.

Sejurus kemudian, Nadiem seakan membongkar semua pakem pendidikan selama ini melalui konsep Merdeka Belajar, Guru Penggerak, dan Kampus Merdeka.

Di lingkar istana, Jokowi membongkar kesakralan posisi staf khusus presiden dengan menunjuk para milenial.

Beberapa di antara mereka bahkan belum mencapai usia 30 tahun. Staf khusus merupakan teman diskusi presiden sehari-hari yang biasanya diisi figur-figur senior dalam kepakaran maupun pengalaman.

Di bidang hukum, sudah menjadi rahasia umum Jokowi membongkar independensi KPK dengan menempatkannya di bawah presiden dan memasukkan dewan pengawas yang dipilihnya secara langsung.

Desentralisasi peraturan, yang dinilai sebagai hiper-regulasi dan obesitas regulasi, dibongkar melalui omnibus law atau undang-undang sapu jagad.

Sementara itu, rencana relokasi Ibu Kota Negara berlangsung seketika, seakan ingin membongkar kompleksitas multidimensi dari pemindahan Ibu Kota Negara.

Lantas, apa yang ingin dicapai Jokowi dari berbagai langkah politik dekonstruksi di awal periode keduanya?

Apakah semua ini sebuah grand design untuk satu tujuan tertentu?

Pasca-dekonstruksi, bagaimana pula rekonstruksi akan dilakukan di masa tersisa pemerintahannya?

Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (29/1/2020), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.

Let's block ads! (Why?)



"hari" - Google Berita
January 29, 2020 at 08:12AM
https://ift.tt/37BOKl4

100 Hari Politik “Bongkar” ala Jokowi - Kompas.com - Nasional Kompas.com
"hari" - Google Berita
https://ift.tt/30byRRZ

Bagikan Berita Ini

0 Response to "100 Hari Politik “Bongkar” ala Jokowi - Kompas.com - Nasional Kompas.com"

Post a Comment

Powered by Blogger.